Saturday, April 16, 2005

Lieber Burgermeister

Sebagai neue Einwohnsitz von Linz (penghuni baru Linz), menghadiri undangan Burgermeister (Walikota) memberikan kesan tersendiri bagi penulis. Dr. Franz Dobucsh, sang Burgermeister betul-betul memberlakukan undangan sebagai tamu, dan dia seorang penerima tamu yang baik. Dengan kapasitasnya sebagai orang nomor satu di Linz, dia tidak segan berada di depan pintu. "Gruess Got! (ungkapan salam perjumpaan, red)", katanya, sambil menyalami setiap undangan yang masuk, yang jumlahnya sekitar 200-300 orang.

Dengan diawali dengan presentasi tentang jumlah penduduk, jumlah lapangan kerja, sumber-sumber pendapatan utama, beberapa proyek pembangunan yang sedang dan akan dilakukan, Herr Dobusch memaparkan dengan sistematis capaian-capaian kerjanya. Yang menarik, sesi presentasi diakhiri dengan dialog yang sebagian berisi keluhan-keluhan peserta tentang problem mereka.

Seorang warga Brazil mengeluhkan sulitnya mendapatkan wohnung (tempat tinggal) dari pemerintah. Di sini, sebagian wohnung disediakan oleh negara, sebagian adalah privat wohnung yang harganya jauh lebih mahal. Seorang senior (sebutan untuk warga usia lanjut), mengeluhkan urusan telepon yang agak bertele-tele. Seorang lelaki mengeluhkan banyaknya kabel berantakan ditarik di sana-sini, seakan-akan dia tinggal di negara yang tidak modern. Semuanya ditanggapi dengan sebuah jawaban, "Ok, berikan nama dan alamat Anda ke staf saya, segera kami akan kontak Anda untuk menyelesaikan persoalan tersebut". Dan beberapa staf mendatangi mereka dengan membawa alat tulis untuk mencatatnya.

Well, melihat bagaimana sistem pemerintahan negara semacam ini menyelesaikan soal-soal yang mungkin terlihat sepele, tetapi memberi dampak yang betul-betul terasa, bahwa mereka adalah profesional yang melayani masyarakat, mengingatkan kita untuk mengkritisi bagaimana hubungan pemerintah dan masyarakat di Indonesia terjalin.

Wednesday, March 09, 2005

MUI dan sertifikat halal

Kemarin, beberapa mass media me-release pernyataan sekjen MUI Dien Syamsuddin, tentang masih subhatnya beberapa makanan cepat saji di Indonesia, termasuk Hoka Hoka Bento. Beberapa media secara bias memberitakan bahwa MUI mengharamkan Hoka Hoka Bento, padahal beberapa media lain menyatakan secara jernih bahwa MUI menyatakan Hoka Hoka Bento masih subhat karena belum mendapat sertifikasi halal dari MUI.

Lepas adanya bias pemberitaan oleh mass media tentang hal itu, membaca berita-berita tentang halal haramnya produk makanan selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan tentang kepedulian masyarakat Indonesia akan substansi makanan halal. Beberapa waktu lalu, mass media juga me-release berita tentang adanya ekstrak babi pada proses pembuatan ajinomoto. Sontak, banyak anggota masyarakat tidak mau mengkonsumsi ajinomoto. Gejala semacam ini tentu saja mengembirakan ketika kepedulian masyarakat akan kehalalan "zat" makanan dibarengi dengan kesadaran akan kehalalan "proses" untuk mendapatkan makanan. Kita bisa jumpai masyarakat yang tidak makann babi, tidak minum bir, tetapi in paralel mereka melakukan pungutan-pungutan liar pada saat melaksanakan pekerjaan yang sudah menjadi tugas mereka.

Tentu saja kehalalan "zat" makanan adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Tetapi, jika kita jeli melihat, sebagian besar kehalalan dan ketidakhalalan makanan
membawa dampak secara pribadi. Dikatakan sebagian besar, karena minuman haram semacam bir, mamang dapat membawa dampak negatif tidak saja pada pribadi yang meminum, tetapi pada orang2 disekitar peminum yg sedang mabuk. Biarpun begitu, sebagian besar memakan makanan yang "zat"nya haram tidak memberi dampak apapun terhadap lingkungan sekitar. Lain halnya dengan kehalalan/keharaman "proses" mendapatkan makan. Dampaknya bisa sangat besar terhadap sistem masyarakat secara keseluruhan.

Beberapa bulan yang lalu Bahtsul Matsail NU mendiskusikan tentang hukum menyuap untuk test masuk pegawai negeri. Hal ini menarik, karena soal tersebut adalah soal aktual yang sedang dihadapi masyarakat. Sebagian besar proses penerimaan pegawai pemerintahan ditengarai mengandung unsur suap sehingga proses seleksi menjadi tidak objektif. Bahtsul Matsail NU menyimpulkan bahwa haram hukumnya menyuap dan menerima suap dalam proses penerimaan pegawai negeri. Apakah kesimpulan ini berdampak pada masyarakat sehingga mereka yang tadinya hendak menyuap dan disuap mengurungkan niatnya? Wallahu a'lam.

Kita tentu memberi apresiasi positif pada fatwa MUI tentang kehalalan "zat" makanan. Kita juga gembira dengan fatwa NU tentang keharaman suap dalam proses seleksi pegawai negeri ("proses" mendapatkan makanan). Persoalan mendasarnya adalah bagaimana system masyarakat dapat menyerap kedua fatwa tersebut secara proporsional. MUI dan NU tentu tidak punya tanggung jawab administratif dan power untuk dapat mendorong dipatuhinya fatwa-fatwa tersebut. Pemegang kekuasaanlah yang seharusnya mampu memanfaatkan seruan moral NU dan MUI tersebut untuk menciptakan system yang menjamin masyarakat dapat hidup wajar, baik, dan halal...

Sunday, February 27, 2005

Tsunami dan Tuhan

"Bagaimana orang-orang di negaramu memandang Tuhan setelah bencana Tsunami ?, Jika Tuhan berkuasa mengapa membiarkan Tsunami menimpa orang baik-baik?, Jika Dia Maha Sempurna mengapa dia tidak menciptakan dunia yang penuh kedamaian? Jika Dia Maha Kuat megapa orang-orang yang memaki-maki-Nya dibiarkan tetap hidup ? " pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi itu di cecarkan Edmund kepadaku.

Sudah lama kami tidak keluar bersama untuk berbincang-bincang. Malam ini dia mengajakku ke Wirsthof Auhof, sebuah kafe dekat Universitas. Berbincang dengannya memang menarik. Banyak pertanyaan yang mungkin tidak terpikirkan atau tidak mau dipikirkan oleh kebanyakan orang muncul darinya. Dengan latar belakang budaya barat yang sangat kental dengan kebebasan berpikir, dengan perhatiannya kepada kemanusiaan yang universal, dan dengan ketidakpercayaannya pada tuhan (sebagaimana tuhan yang dipahami oleh orang-orang beragama, karena dia sendiri mengakui dan meyakini ada dimensi lain, sebuah kekuatan yang tidak dapat dia jangkau), maka pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi wajar keluar dari mulutnya.

Bencana Tsunami tentu saja menjadi sebuah fenomena yang sangat mengerikan baginya (tentu saja bagiku juga). Dapat dibayangkan, dengan jumlah lebih dari 100 ribu jiwa meninggal (sama dengan lebih dari separuh penduduk Linz), datangnya Tsunami yang meluluhlantakkan 80% wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi sebuah kengerian yang luar biasa. Dan pertanyaan-pertanyaan Edmund itu menemukan relevansinya.

Dia mengharapkan aku menjawab sebagai seorang muslim "fundamentalis". Aku sendiri tidak setuju dengan istilah itu tapi untuk memudahkan diskusi dengannya aku biarkan saja dia mempunyai istilah itu, sebagai sebutan buat muslim yang menghendaki pelaksanaan syariat dalam negara. Edmund menganggap aku mengerti tentang bagaimana muslim "fundamentalis" berpikir, tetapi diskusi-diskusi kami selama ini mengarahkan keyakinan dia bahwa aku cukup moderat untuk bisa diajak sebagai sparing partner diskusi.

Aku sendiri terpana dan kaget dengan pertanyaannya, bukan karena aku tidak pernah mendengar pertanyaan2 seperti itu, tapi lebih karena aku diminta untuk memberikan jawaban, sebagai seorang "fundamentalis". "In my oppinion, we should understand what they think of the God and his Creatures", kumulai membuka diskusi lebih lanjut. "Imagine if you think that you have nothing, even your body, your soul, your life. The only one who has them is the God. What you have is actually not yours, but owned by the God. They will think like that. No matter what the God will do, since He has everything, people, nature, world, life, soul. He has the right to do everything".

Saturday, February 26, 2005

For The Goodness of The Society

Sungguh menarik melihat bagaimana sistem masyarakat di Linz berjalan. Sebuah kota kecil, barangkali sebesar Bandung, dengan penduduk hanya sekitar 200 ribu jiwa ini kelihatan sangat makmur. Tidak berarti penduduknya sangat kaya, tetapi kelihatannya distribusi kesejahteraan masyarakat relatif merata. Meskipun banyak orang punya rumah sendiri, kebanyakan mereka memilikinya di daerah luar kota. Mereka yang tinggal di apartemen pun hidup cukup layak. Bisa dikatakan demikian karena jaminan sosial, pendidikan, dan kesehatan, juga public tranportation telah menjamin kebutuhan dasar mereka.

Bayangkan saja, untuk setiap anak yang lahir, setiap keluarga berhak mendapat tunjangan dari negara beberapa ratus Euro, jumlah yang sama untuk biaya makan 2 orang dalam 1 bulan. Dengan public transportasion yang rapi, pada dasarnya mereka tidak membutuhkan mobil, meskipun hampir setiap keluarga memiliki mobil. Hanya dengan 1.8 Euro, seharga kurang dari 1 kali makan siang sederhana, seseorang dengan kategori "kurang sejahtera" dapat menikmati transportasi secara bebas selama sehari. Juga, jaminan kesehatan (versicherung) yang meng-offer sebagian besar biaya kesehatan termasuk biaya opname di rumah sakit. Suatu kali pernah terjadi tiga orang petugas kesehatan harus datang ke Haltestelle, sebuah stasiun tram, untuk menangani seseorang yang mengalami sesak napas di sana.
Belum lagi beberapa benefit untuk senior (istilah mereka untuk orang lanjut usia), seperti transportasi gratis, tunjangan hari tua, dan apartemen khusus, semacam seniorenzentrum.

Dari mana pemerintah mendapatkan biaya untuk itu semua? Ini yang menarik. Pajak penghasilan di sini cukup besar, sekitar 20-30% dari penghasilan Beberapa perusahaan pemerintah semacam Voest Alpine (perusahaan baja), LinzAG Storm (peusahaan listrik), tentu ikut andil dalam mendukung kemampuan keuangan pemerintah. Tetapi, nampaknya bukan sekedar persoalan dari mana sumbernya, tapi bagaimana keuangan tersebut dikelola, dan bagaimana pemerintah bekerja secara profesional. Kelihatan bahwa hampir setiap elemen pemerintah, kalau tidak dapat dikatakan semuanya, menjalankan fungsinya dengan cukup baik.Dari kantor-kantor layanan umum, semacam kantor kependudukan (Rathaus), atau kantor kehakiman (Landesgericht) dapat dilihat bahwa mereka bekerja profesional dan mengambil posisi yang benar-benar melayani masyarakat. Tidak ada uang pelicin untuk mengurus dokumen, prosedur yang harus dilalui juga jelas, kapan selesai juga jelas, malahan untuk beberapa urusan, langsung selesai sekali datang. Jika memang ada biaya maka itu semua adalah biaya resmi. Bandingkan dengan pengurusan SIM di Indonesia yang ada versi "dibantu" dan versi "biasa", juga pengurusan paspor di imigrasi atau pengurusan dokumen di departemen kehakiman, yang pernah dialami penulis.

Jika dibandingkan dengan kekayaan alam di Indonesia, katakanlah di Bandung, Linz termasuk kota yang miskin kekayaan alam. Mereka tidak memiliki laut, tanah-tanah pertanian praktis tidak dapat ditanami pada saat winter, sekitar 4-5 bulan. Kebutuhan dasar hidup masyarakat jauh sangat tinggi dibanding kebutuhan masyarakat Indonesia. Untuk menjaga agar jalan tidak sampai tertutup salju tebal saat winter, mereka membutuhkan garam dalam jumlah yang sangat besar untuk menaburi jalan-jalan, juga kerikil-kerikil untuk jalan2 kecil agar jalan tidak licin. Setiap rumah membutuhkan pemanas saat Winter, yang sekarang sebagian besar elektrik, sehingga konsumsi listrik sangat besar. Setiap orang perlu berganti baju yang sama sekali berbeda untuk 4 musim, minimal 2 musim Summer dan Winter. Dengan kebutuhan yang demikian tinggi, tapi toh mereka dapat mengelola kehidupan (minimal aspek material) dengan cukup baik.

Seharusnya dengan biaya dasar hidup yang lebih rendah dan kekayaan alam yang lebih banyak, masyarakat Indonesia dapat lebih sejahtera dibandingkan masyarakat di Linz. Budaya dan sistem kerja harus diubah. Setiap elemen masyarakat harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya, menghindari personal interest dalam pekerjaannya, dan sistem hukum ditegakkan.