Wednesday, March 09, 2005

MUI dan sertifikat halal

Kemarin, beberapa mass media me-release pernyataan sekjen MUI Dien Syamsuddin, tentang masih subhatnya beberapa makanan cepat saji di Indonesia, termasuk Hoka Hoka Bento. Beberapa media secara bias memberitakan bahwa MUI mengharamkan Hoka Hoka Bento, padahal beberapa media lain menyatakan secara jernih bahwa MUI menyatakan Hoka Hoka Bento masih subhat karena belum mendapat sertifikasi halal dari MUI.

Lepas adanya bias pemberitaan oleh mass media tentang hal itu, membaca berita-berita tentang halal haramnya produk makanan selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan tentang kepedulian masyarakat Indonesia akan substansi makanan halal. Beberapa waktu lalu, mass media juga me-release berita tentang adanya ekstrak babi pada proses pembuatan ajinomoto. Sontak, banyak anggota masyarakat tidak mau mengkonsumsi ajinomoto. Gejala semacam ini tentu saja mengembirakan ketika kepedulian masyarakat akan kehalalan "zat" makanan dibarengi dengan kesadaran akan kehalalan "proses" untuk mendapatkan makanan. Kita bisa jumpai masyarakat yang tidak makann babi, tidak minum bir, tetapi in paralel mereka melakukan pungutan-pungutan liar pada saat melaksanakan pekerjaan yang sudah menjadi tugas mereka.

Tentu saja kehalalan "zat" makanan adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Tetapi, jika kita jeli melihat, sebagian besar kehalalan dan ketidakhalalan makanan
membawa dampak secara pribadi. Dikatakan sebagian besar, karena minuman haram semacam bir, mamang dapat membawa dampak negatif tidak saja pada pribadi yang meminum, tetapi pada orang2 disekitar peminum yg sedang mabuk. Biarpun begitu, sebagian besar memakan makanan yang "zat"nya haram tidak memberi dampak apapun terhadap lingkungan sekitar. Lain halnya dengan kehalalan/keharaman "proses" mendapatkan makan. Dampaknya bisa sangat besar terhadap sistem masyarakat secara keseluruhan.

Beberapa bulan yang lalu Bahtsul Matsail NU mendiskusikan tentang hukum menyuap untuk test masuk pegawai negeri. Hal ini menarik, karena soal tersebut adalah soal aktual yang sedang dihadapi masyarakat. Sebagian besar proses penerimaan pegawai pemerintahan ditengarai mengandung unsur suap sehingga proses seleksi menjadi tidak objektif. Bahtsul Matsail NU menyimpulkan bahwa haram hukumnya menyuap dan menerima suap dalam proses penerimaan pegawai negeri. Apakah kesimpulan ini berdampak pada masyarakat sehingga mereka yang tadinya hendak menyuap dan disuap mengurungkan niatnya? Wallahu a'lam.

Kita tentu memberi apresiasi positif pada fatwa MUI tentang kehalalan "zat" makanan. Kita juga gembira dengan fatwa NU tentang keharaman suap dalam proses seleksi pegawai negeri ("proses" mendapatkan makanan). Persoalan mendasarnya adalah bagaimana system masyarakat dapat menyerap kedua fatwa tersebut secara proporsional. MUI dan NU tentu tidak punya tanggung jawab administratif dan power untuk dapat mendorong dipatuhinya fatwa-fatwa tersebut. Pemegang kekuasaanlah yang seharusnya mampu memanfaatkan seruan moral NU dan MUI tersebut untuk menciptakan system yang menjamin masyarakat dapat hidup wajar, baik, dan halal...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home