Sunday, February 27, 2005

Tsunami dan Tuhan

"Bagaimana orang-orang di negaramu memandang Tuhan setelah bencana Tsunami ?, Jika Tuhan berkuasa mengapa membiarkan Tsunami menimpa orang baik-baik?, Jika Dia Maha Sempurna mengapa dia tidak menciptakan dunia yang penuh kedamaian? Jika Dia Maha Kuat megapa orang-orang yang memaki-maki-Nya dibiarkan tetap hidup ? " pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi itu di cecarkan Edmund kepadaku.

Sudah lama kami tidak keluar bersama untuk berbincang-bincang. Malam ini dia mengajakku ke Wirsthof Auhof, sebuah kafe dekat Universitas. Berbincang dengannya memang menarik. Banyak pertanyaan yang mungkin tidak terpikirkan atau tidak mau dipikirkan oleh kebanyakan orang muncul darinya. Dengan latar belakang budaya barat yang sangat kental dengan kebebasan berpikir, dengan perhatiannya kepada kemanusiaan yang universal, dan dengan ketidakpercayaannya pada tuhan (sebagaimana tuhan yang dipahami oleh orang-orang beragama, karena dia sendiri mengakui dan meyakini ada dimensi lain, sebuah kekuatan yang tidak dapat dia jangkau), maka pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi wajar keluar dari mulutnya.

Bencana Tsunami tentu saja menjadi sebuah fenomena yang sangat mengerikan baginya (tentu saja bagiku juga). Dapat dibayangkan, dengan jumlah lebih dari 100 ribu jiwa meninggal (sama dengan lebih dari separuh penduduk Linz), datangnya Tsunami yang meluluhlantakkan 80% wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi sebuah kengerian yang luar biasa. Dan pertanyaan-pertanyaan Edmund itu menemukan relevansinya.

Dia mengharapkan aku menjawab sebagai seorang muslim "fundamentalis". Aku sendiri tidak setuju dengan istilah itu tapi untuk memudahkan diskusi dengannya aku biarkan saja dia mempunyai istilah itu, sebagai sebutan buat muslim yang menghendaki pelaksanaan syariat dalam negara. Edmund menganggap aku mengerti tentang bagaimana muslim "fundamentalis" berpikir, tetapi diskusi-diskusi kami selama ini mengarahkan keyakinan dia bahwa aku cukup moderat untuk bisa diajak sebagai sparing partner diskusi.

Aku sendiri terpana dan kaget dengan pertanyaannya, bukan karena aku tidak pernah mendengar pertanyaan2 seperti itu, tapi lebih karena aku diminta untuk memberikan jawaban, sebagai seorang "fundamentalis". "In my oppinion, we should understand what they think of the God and his Creatures", kumulai membuka diskusi lebih lanjut. "Imagine if you think that you have nothing, even your body, your soul, your life. The only one who has them is the God. What you have is actually not yours, but owned by the God. They will think like that. No matter what the God will do, since He has everything, people, nature, world, life, soul. He has the right to do everything".

Saturday, February 26, 2005

For The Goodness of The Society

Sungguh menarik melihat bagaimana sistem masyarakat di Linz berjalan. Sebuah kota kecil, barangkali sebesar Bandung, dengan penduduk hanya sekitar 200 ribu jiwa ini kelihatan sangat makmur. Tidak berarti penduduknya sangat kaya, tetapi kelihatannya distribusi kesejahteraan masyarakat relatif merata. Meskipun banyak orang punya rumah sendiri, kebanyakan mereka memilikinya di daerah luar kota. Mereka yang tinggal di apartemen pun hidup cukup layak. Bisa dikatakan demikian karena jaminan sosial, pendidikan, dan kesehatan, juga public tranportation telah menjamin kebutuhan dasar mereka.

Bayangkan saja, untuk setiap anak yang lahir, setiap keluarga berhak mendapat tunjangan dari negara beberapa ratus Euro, jumlah yang sama untuk biaya makan 2 orang dalam 1 bulan. Dengan public transportasion yang rapi, pada dasarnya mereka tidak membutuhkan mobil, meskipun hampir setiap keluarga memiliki mobil. Hanya dengan 1.8 Euro, seharga kurang dari 1 kali makan siang sederhana, seseorang dengan kategori "kurang sejahtera" dapat menikmati transportasi secara bebas selama sehari. Juga, jaminan kesehatan (versicherung) yang meng-offer sebagian besar biaya kesehatan termasuk biaya opname di rumah sakit. Suatu kali pernah terjadi tiga orang petugas kesehatan harus datang ke Haltestelle, sebuah stasiun tram, untuk menangani seseorang yang mengalami sesak napas di sana.
Belum lagi beberapa benefit untuk senior (istilah mereka untuk orang lanjut usia), seperti transportasi gratis, tunjangan hari tua, dan apartemen khusus, semacam seniorenzentrum.

Dari mana pemerintah mendapatkan biaya untuk itu semua? Ini yang menarik. Pajak penghasilan di sini cukup besar, sekitar 20-30% dari penghasilan Beberapa perusahaan pemerintah semacam Voest Alpine (perusahaan baja), LinzAG Storm (peusahaan listrik), tentu ikut andil dalam mendukung kemampuan keuangan pemerintah. Tetapi, nampaknya bukan sekedar persoalan dari mana sumbernya, tapi bagaimana keuangan tersebut dikelola, dan bagaimana pemerintah bekerja secara profesional. Kelihatan bahwa hampir setiap elemen pemerintah, kalau tidak dapat dikatakan semuanya, menjalankan fungsinya dengan cukup baik.Dari kantor-kantor layanan umum, semacam kantor kependudukan (Rathaus), atau kantor kehakiman (Landesgericht) dapat dilihat bahwa mereka bekerja profesional dan mengambil posisi yang benar-benar melayani masyarakat. Tidak ada uang pelicin untuk mengurus dokumen, prosedur yang harus dilalui juga jelas, kapan selesai juga jelas, malahan untuk beberapa urusan, langsung selesai sekali datang. Jika memang ada biaya maka itu semua adalah biaya resmi. Bandingkan dengan pengurusan SIM di Indonesia yang ada versi "dibantu" dan versi "biasa", juga pengurusan paspor di imigrasi atau pengurusan dokumen di departemen kehakiman, yang pernah dialami penulis.

Jika dibandingkan dengan kekayaan alam di Indonesia, katakanlah di Bandung, Linz termasuk kota yang miskin kekayaan alam. Mereka tidak memiliki laut, tanah-tanah pertanian praktis tidak dapat ditanami pada saat winter, sekitar 4-5 bulan. Kebutuhan dasar hidup masyarakat jauh sangat tinggi dibanding kebutuhan masyarakat Indonesia. Untuk menjaga agar jalan tidak sampai tertutup salju tebal saat winter, mereka membutuhkan garam dalam jumlah yang sangat besar untuk menaburi jalan-jalan, juga kerikil-kerikil untuk jalan2 kecil agar jalan tidak licin. Setiap rumah membutuhkan pemanas saat Winter, yang sekarang sebagian besar elektrik, sehingga konsumsi listrik sangat besar. Setiap orang perlu berganti baju yang sama sekali berbeda untuk 4 musim, minimal 2 musim Summer dan Winter. Dengan kebutuhan yang demikian tinggi, tapi toh mereka dapat mengelola kehidupan (minimal aspek material) dengan cukup baik.

Seharusnya dengan biaya dasar hidup yang lebih rendah dan kekayaan alam yang lebih banyak, masyarakat Indonesia dapat lebih sejahtera dibandingkan masyarakat di Linz. Budaya dan sistem kerja harus diubah. Setiap elemen masyarakat harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya, menghindari personal interest dalam pekerjaannya, dan sistem hukum ditegakkan.